Selasa, 12 Januari 2016

Proses Membangun Citra

MEMBANGUN CITRA
Citra merupakan hal  terpenting yang harus dimiliki oleh setiap individu, kelompok, organisasi, ataupun perusahaan. Setiap individu, kelompok, ataupun organisasi dapat membangun citranya agar dapat dipandang baik oleh orang lain ataupun masyarakat. Menurut Melewar, (2003); Hatch & Schultz, (1997) citra didalam sebuah organisasi adalah hal yang mengacu pada bagaiamana para pemangku kepentingan didalam sebuah perushaan tersebut dapat memanifestasikan dirinya didalam perusahaan itu sendiri (Gurses & Kilic, 2013)
Citra didalam diri seseorang ataupun sebuah organisasi tidak akan lepas dari sebuah persepsi dari orang lain atau masyarakat. Citra juga dapat dikatakan sebagai kebenaran ataupun kebohongan di dalam diri seseorang ataupun organisasi itu sendiri, karena citra berada diantara realita dan persepsi yang dikontruksikan oleh orang lain ataupun masyarakat (Mayer, 2004).
Maka citra itu sendiri tidak semerta-merta ada begitu saja tetapi didalam sebuah citra terdapat atribut-atribut yang membentuk citra itu sendiri secara umum, selain itu atribut yang ada dalam membentuk sebuah citra juga didukung oleh banyak faktor salah satunyanya adalah stakeholder, jika sebuah organisasi dapat membangun sebuah citra dengan baik maka akan ada hubungan baik antara organisasi dengan stakeholder (stakeholder relations). Kemudian  didalam sebuah organisasi terdapat kelompok-kelompok yang terdiri dari setiap individu-individu, dan citra yang positif dalam perusahan atau organisasi dibangun dan didukung oleh  komunikasi yang baik antar individu didalamnya (internal communication).
Menurut Anggoro (2001) citra atau reputasi yang positif dalam sebuah organisasi jika didalamnya terdiri dari : (1) Terjalin hubungan yang baik dengan para pemuka masyarakat, (2) Terjalin hubungan yang baik dengan pemerintah setempat, (3) Rasa bangga dalam lingkup organisasi dan khalayak setempat, (4) Menjalin hubungan baik baik eksternal maupun internal dengan masyarakat dan saling pengertian, (5) Meningkatnya loyalitas karyawan kepada perusahaan (Satlita, 2010).

a.     Proses Membangun Citra
Proses merupakan tahapan yang harus dilalui jika kita ingin mewujudkan sesuatu, terutama dalam membangun sebuah citra. Berikut ini adalah sebuah metode atau proses yang dapat digunakan oleh banyak organisasi untuk mengelola atau membentuk sebuah citra (Argenti, 2005, h.87-92):
1.      Lakukan Audit Identitas
Audit Identitas dilakukan agar sebuah perusahaan mendapatkan pemahaman yang dalam mengenai organisasi, untuk mendekatkan realita dari perspektif-perspektif  para manajer di dalam dan mencocokannya dengan persepsi dari konsituen kunci.  Audit Identitas ini dapat didukung dengan berbagai cara dan survey yang dapat dilakukan didalam sebuah perusahaan diantaranya mengulas literatur perusahaan, iklan, peralatan kantor, produk, layanan, dan fasilitas. Selain itu para auditor juga dapat melakukan riset mendalam tentang persepsi-persepsi di antara konstituen-konstituen yang paling penting (Argenti, 2005, h.87).
2.      Tentukan Tujuan Identitas
Memiliki tujuan identitas yang jelas adalah hal yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan. Tujuan dari sebuah perusahaan dapat disamapaikan oleh manajemen senior, dimana manajemen senior harus dapat menjelaskan bagaiamana setiap lini dari perusahaannya dapat berperan aktif dari sebuah tugas yang didelegasikan kepada setiap individu dari sebuah perusahaan. Dengan memiliki tujuan yang jelas dari sebuah perusahaan maka perusahaan tersebut dapat mencapai apa yang diinginkan oleh perusahaan tersebut (Argenti, 2005, h.88). 
3.      Kembangkan Desain dan Nama
Sebuah perusahaan tidak akan pernah lepas dari sebuah nama, merek atau brand, dan logo ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dengan nama, brand, dan juga logo masyarakat akan mudah mengenali dan mengidentifikasi perusahaan kita.
Tetapi dalam pemberian nama, brand, dan logo juga harus diperhatikan bahwa sebuah perusahaan tidak boleh melakukan pelanggaran merek dagang dan nama. Perusahaan juga perlu memastikan bahwa logo harus merefleksikan realita perusahaan dengan akurat dan harus mempertimbangkan modifikasi-modifikasi jika logo tidak sesui dengan citra perusahaan (Argenti, 2005, h.90).
Brand image untuk sebuah produk di dalam sebuah perusahaan sangatalah penting, brand image ini ada kaiatannya dengan manajemen pemasaran dimana sebuah perusahaan dapat memepertimbangkan beberapa aspek untuk membuat citra produk dan perusahaan tersebut, seperti jumlah penjualan yang ingin dicapai, implementasi produk yang dimana implemantasi produk ini dilakukan diakhir jika produk sudah siap dipasarkan dan control terhadap brand itu sendiri (Park, Whan, Jaworski, Bernard, MacInnis, Deborah, 1986).
Dalam mengembangkan sebuah desain, nama, dan brand sebuah produk dalam melakukan sebuah manajemen konsep brand diantaranya adalah: (1) Pengenalan produk tersebut, (2) Elaborasi produk, disini hal yang difokuskan adalah kepada nilai brand image tersebut, (3) Pertahanan, dimana setelah melewati proses pengenalan dan elaborasi produk maka yang terakhir dilakukan adalah mempertahankan brand didalam lingkungan masyarakat (Park, Whan, Jaworski, Bernard, MacInnis, Deborah, 1986).
4.      Kembangkan Prototipe
Prorotipe digunakan sebuah perusahaan untuk menunjukkan bagaimana citra merek atau brand yang  digunakan didalam produk dalam sebuah perusahaan. Setelah desain akhir dan disetujui oleh semua pihak yang terlibat didalam sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut harus terus malakukan modifikasi-modifikasi dari nama atau brand agar citra dari produk dapat dipertahankan dengan baik (Argenti, 2005, h.90).
5.      Luncurkan dan Komunikasikan
Setelah tahap-tahap yang dipaparkan mulai dari melakukan Audit Identitas, menentukan Tujuan Identitas, mengembangkan Desain dan Nama, dan mengembangkan Prototipe, maka langkah selanjutkan adalah melakukan peluncuran sebuah produk ataupun kegiatan dari sebuah perusahaan tersebut.
Didalam hal ini peran seorang Public Relations atauu PR sangat dibutuhkan bagaimana PR dapat menghubungkan perusahaan dengan masyarakat luas, bagaiamana PR dapat menjelaskan detail dari setiap produk yang dibuat mauapun kegiatan yang dilakukan perushaan untuk masyarakat, dan bagaimana PR dapat menjelaskan strategi di belakang program tersebut (Argenti, 2005, h.91).
6.      Implementasi Program
Proses terakhir yang dilakukan sebuah perusahaan agar citranya dapat dipandang positif oleh masyarakat adalah melakukan implementasi program. Bagaimana sebuah brand dapat diterima dimata masyrakat itu sendiri. Program implementasi identitas itu sendiri merupakan sebuah proses komunikasi yang melibatkan banyak kecerdasan antarpersonal dan sebuah pendekatam yang terkoordinasi untuk berurusan dengan banyak kostituen (Argenti, 2005, h.93).

b.     Faktor Yang Mempengaruhi Proses Membangun Citra
Dalam berdirinya sebuah perusahaan ataupun organisasi tentu didalamnya aka ada banyak hal yang dipertimbangakan dalam membentuk sebuah perusahaan itu sendiri dianataranya hal yang harus diperhatiakan  atau faktor yang mempengaruhi dalam membentuk sebuah citra dalam perusahaan adalah (Argenti, 2005, h.81-86) :
1.      Adanya Visi yang dapat menginspirasi
Visi dari sebuah perusahaan itu sendiri adalah garis umum yang dapat dirasakan semua karyawan, yang meliputi nilai-nilai inti perusahaan, filosofi, standar, dan tujuan dari perusahaan itu sendiri (Argenti, 2005, h.81).
2.      Nama ataupun Logo
Nama atau logo juga menjadi salah satu faktor pendukung yang penting didalam berdirinya sebuah perusahaan ataupun organisasi. Merek atau brand  juga menjadi tag identifikasi yang memungkinkan kita untuk mengukur apa pun yang ada disekitar kita dengan cepat dan mudah. Branding merupakan salah satu kompenen terpenting dari program menejemnen citra (Argenti, 2005, h.82)
3.      Presentasi diri yang konsisten dan terintegrasi
Presentasi diri yang konsisten dan terintegrasi merupakan satu kesatuan dari berbagai unsur yang ada dalam menunjang berdirinya sebuah perusahaan dan terbentuknya citra sebuah perusahaan. Visi dari sebuah perusahaan, merek atau brand, dan juga sikap karyawan harus dapat mempresentasikan sebuah perusahaan, dengan unsur-unsur tersebut maka sebuah perusahaan akan dapat dinilai dalam konsistensi citranya. Apakah perushaan tersebut memiliki citra postif atau negatif (Argenti, 2005, h.86).


c.      Stakeholder Relations
Sebuah perusahann yang memiliki citra positif tentunya juga akan memiliki hubungan baik dengan pemerintah yang ada disekitar perusahaan tersebut.  Hubungan yang baik antara perusahaan dan stakeholder yang ada dapat ditunjukkan dengan cara perusahaan mendukung program yang dicanakan oleh pemerintah tersebut.
Menurut Preece et al (1995) hal yang dapat digunakan oleh sebuah perusahaan untuk membangun hubungan baik dengan stakeholder atau para pemangku kepentingan adalah adalanya situs iklan, kampanye pemasaran konsumen, dan  pernyataan misi dan sponsorship sosial  hal ini dilakukan oleh perusahaan untuk mempromosikan citra atau reputasi mereka (Nkempu, 2010).
Menurut Rajshekhar et al (1994) sponsorship merupakan hal yang  digunakan sebagai sarana meningkatkan citra perusahaan. Semakin, sebuah perusahaan melibatkan sponsorship diberbagai kegiatan pentingnya, terutama dalam kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, lingkungan, dan pembangunan negara maka semkin baik pula pandangan stakeholder terhadap perusahaan tersebut (Nkempu, 2010).

d.     Internal Communication
Sebuah perusahaan akan dikatakan berhasil jika perusahaan tersebut dapat menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat ataupun menjaga komunikasi didalamnya anatara atasan dan juga bahawan yang disebut dengan internal communication.
Jika didalam sebuah organisasi ataupun perusahaan tidak dapat menjaga komunikasi internalnya dengan baik maka didalam sebuah perusahaan tersebut akan terjadi konflik internal. Yang terjadi biasanya didalam sebuah perusahaan atau organisasi jika terjadi konflik adalah pembagian tugas terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh setiap individu didalamnya, pendelegasian tugas biasanya menjadi masalah serius jika tidak ditangani dengan benar oleh seuatu perusahaan (Floyd & Lane, 2000).
Kemudian hal yang harus dilakukan sebuah perusahaan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan cara melakukan pembaharuan strategi didalam perusahaan tersebut. diantara banyak strategi yang dapat digunakan salah satu alternatifnya adalah (Floyd & Lane, 2000): (1) Penyebaran Kompetensi, (3) Modifikasi Kompetensi, dan (3) Definisi Kompetensi.
1.      Penyebaran Kompetensi
Menurut Hamel & Prahalad, (1989) ; Levinthal & Maret, (1993); Mehra & Floyd, 1998) definisi kompetesi adalah proses dimana manajer menggunakan sumber daya untuk memperkuat posisi pasar (Floyd & Lane, 2000).
2.      Modifikasi Kompetensi
Menurut Huff et al, (1992) adalah proses dimana manajer mengenali kebutuhan yang diperlukan untuk merubah strategi, memepertayakan strategi tersebut sudah tetaptkah atau belum, dan mendorong munculnya perilaku adaptif (Floyd & Lane, 2000).
3.      Definisi Kompetensi
Definisi Kompetensi adalah subproses terakhir dimana manajer mendorong eksperimen dengan keterampilan baru dan eksplorasi peluang pasar baru (Floyd & Lane, 2000).
Subproses diatas merupakan hal yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk memperbaiki komunikasi internalnya yang mengalami kekacauan. Komunikasi internal yang baik akan mendukung kekompakan dan kerjasama antar tim yang baik dan dapat menunjang citra perusahaan agar semakin baik di kalangan masyarakat. Seperti yang ada disalah satu perusahaan retail yang ada di Yogyakarta dimana pemimpin retail tersebut memebrikan loyalitas tinggi dengan mengusung kosep pemimpin transformatif kepuasan karyawan, perhatian, dan penghargaan selalu diberikan oleh pimpinan kepada para karyawannya. Sehingga karyawannya pun juga memberikan sikap sebaliknya kepada perusahaan yang ditempatinya hal ini membawa dampak yang besar terhadap penjualan produk retail tersebut akan memberikan citra positif di kalangan masyarakat (Faraz & Fatimah, 2014).
  

DAFTAR PUSTAKA
Argenti, Paul A. (2005). Komunikasi Korporat (5th ed). Jakarta: Salemba Humanika
Faraz, N. J & Fatimah, P. L. R. (2014). Assessment of Transformational Leadership, Employees’ Commitment, Job Satisfaction and Organizational Citizenship Behavioral on Retail Business Employee Yogyakarta- Indonesia. International journal of Science Commerce and Humanities, 2 (2), 128-138.
Floyd, S. W & Lane, P. J. (2000). Strategizing Throughout The Organization: Managing Role Conflict in Strategic Renewal. Academy of Management Review, 25 (1), 154-177.
Gurses, S & Kilic, K. C. (2013). Corporate Image Aspect of Corporate Management in Helthcare Industry: Definition, Measurement, and an Empirical Investigation. International Business Research, 6 (12), 31-45.
Mayer, J. D. (2004). The Contemporary Presidency: The Presidency and Image Management: Discipline in Pursuit of Illusion. Presidetial Studies Quarterly, 34 (3), 620-631.
Nkempu, Z. L. (2010). Communication in Image Building in The Experince Industry Case Study: Star Bowling Planet AB. Master of Communication Thesis, 2-65.
Park, Whan C, Jaworski, J Bernard, MacInnis & J Deborah. (1986). Stategic Brand Concept-Image Management. Journal of Marketing, 50 (4), 135-145.
Satlita, L. (2004). Membangun Citra Positif Organisasi Melalui Public Relations.


     

Senin, 21 Desember 2015

Etika dan Aspek Legal dalam Jurnalisme Online

INTRODUCTION
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Ditengah arus globalisasi, manusia dituntut untuk mengetahui segala informasi, dan teknologi dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan informasi tersebut. Hal ini yang menyebabkan terjadinya konvergensi media. Konvergensi media terjadi dengan cara menggabungkan media massa konvensional dengan teknologi komunikasi. Media komunikasi yang telah terlebih dahulu ada dalam masyarakat adalah media cetak dan media elektronik. Namun kini telah hadir media baru yang mampu menjadi media komunikasi instant serta mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Media baru tersebut adalah internet. Pengakses internet terus meningkat seiring dengan ketersediaan infrastruktur yang makin meluas dan terjangkau (Margianto & Syaefullah, 2006).
Melalui internet, kemudian muncullah jurnalisme online. Jurnalisme didefiniskan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat (Efendy, 1984). Dari definsi tersebut, dapat diartikan bahwa jurnalisme merupakan suatu kegiatan mencari, mengolah dan menyampaikan informasi kepada klhalayak luas melalui media elektronik dan internet.
 Dalam jurnalisme online, sebuah informasi dapat diakses dimana saja dan kapan saja selama ada jaringan internet. Oleh sebab itu jurnalisme online adalah perubahan baru dalam ilmu jurnalistik. Media online menyajikan informasi cepat dan mudah diakses melalui internet. Internet yang dalam perkembangannya melahirkan media sosial mem­buka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk me­wartakan apa yang mereka tahu, mereka lihat, dan mereka dengar. Internet juga membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan opini mereka. Media online membuka ruang-ruang percakapan publik pada halaman komentar yang disediakan pada setiap berita Selain membuka ruang publik pada halaman komentar, hampir semua media online di Indonesia memiliki forum, sebuah media sosial tempat pembaca berkumpul dan berinteraksi satu sama lain. Di dalam forum, kita juga kerap menjumpai percakapan-percakapan sejenis (Margianto & Syaefullah, 2006).


THEORY
Konvergensi Media
            Burnett dan Marshall (2003), mengartikan konvergensi adalah sebuah fitur dalam media baru memiliki kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan fungsi komputasi elektronik, komunikasi elektronik, media, dan informasi.
            Konvergensi media pada dasarnya memberikan banyak pilihan kepada publiknya dan hal ini juga bisa jadi merupakan peluang bagi para pelaku ekonomi dalam mencari celah bisnis baru di bidang industri komunikasi yang bekaitan dengan trend konvergensi ini. Konvergensi media ini juga memicu munculnya cyber journalism yang juga lazim dikenal dengan nama online journalism dan berbagai ragam jurnalisme "masa kini" yang meramaikan media massa saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi elektronik, membuka peluang jejaring komunikasi yang semakin asyik dan semakin personal, dengan perangkat  yang semakin ringkas dan bermobilitas tinggi. Jurnalisme ini mengandalkan teknologi Internet sebagai sarana penyebarannya.

Kode Etik Media Online
            K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, mendefinisikan etika sebagai nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya. Maka, perbuatan seseorang akan dianggap tidak bermoral ketika melanggar nilai-nilai dan norma etis yang berlaku dalam masyarakat (Bertens, 2007).
Nicholas Johnson memberi panduan mendasar dalam jurnalisme beinternet (Journalism in Cyberspace atau Cyber-journalism), antara lain menyangkut larangan::
·         Dilarang menyerang kepentingan individu, pencemaran nama baik, pembunuhan karakter/reputasi seseorang.
·         Dilarang menyebarkan kebencian, rasialis, dan mempertentangkan ajaran agama.
·         Larangan menyebarkan hal-hal tidak bermoral, mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut seksual yang menyinggung perasaan umum, dan perundungan seksual terhadap anak-anak.
·         Dilarang menerapkan kecurangan dan tidak jujur, termasuk menyampaikan promosi/iklan palsu.
·         Larangan melanggar dan mengabaikan hak cipta (copyright) dan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI, atau Intelectual Property Right/IPR).


Hukum Jurnalisme Online
Aturan hukum tentang kegiatan jurnalistik banyak di atur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan juga UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan lain lain. Sedangkan aturan yang khusus mengatur tentang penggunaan internet sebagai media jurnalistik yang dimiliki Indonesia adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE). UU ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat.
Pada awal Februari 2012, Dewan Pers bersama sejumlah komunitas pers merilis Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pedoman ini dimaksudkan sebagai reformulasi penerapan kaidah-kaidah etik jurnalistik dalam ranah dunia maya. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk menyeimbangkan kebebasan berpendapat di media siber dengan prinsip-prinsip ruang publik yang beradab. Selain itu, pedoman ini mereduksi potensi kriminalisasi terhadap media siber dan para komentator/partisipan berdasarkan UU ITE, KUHP dan lainnya (Margianto & Syaefullah, 2006).


METHOD
            Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode analisis dengan berdasar pada teori / tinjauan pustaka yang ada, yaitu yang berhubungan dengan etika dan hukum dalam jurnalisme online.

DISCUSSION
Di Indonesia, perkembangan teknologi memiliki banyak dampak pada seluruh bidang kehidupan manusia. Perkembangan teknologi yang begitu pesat ikut mempengaruhi proses eksistensi media. Hal tersebut juga terjadi karena pola perkembangan manusia modern yang cenderung serba instan. Media massa sedikit banyak akan mengalami pergeseran atau revolusi ke arah yang lebih canggih Dari media yang bersifat konvensional sampai menjadi media yang bersifat kontemporer. Dengan munculnya media kontemporer, kebutuhan manusia akan informasi mampu terpenuhi dengan instan. Dalam pengoperasiannya, jurnaisme kontemporer juga menciptakan jurnalisme online yang melibatkan jurnalisme warga.
Dalam pengaplikasiannya, kecepatan media online dalam menyampaikan sebuah informasi membuat banyak orang lebih memilih media online. Namun di sisi lain, media online Indonesia dihadapkan pada salah satu kelemahan terbesarnya, yaitu etika. Dalam jurnalsime online, informasi bukan lagi peristiwa yang telah berlangsung tetapi peristiwa yang sedang berlangsung yang disiarkan media. Jurnalisme online yang disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna untuk meng-update berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Kecepatan dalam menyampaikan berita memang penting bagi suatu media, terutama media online. Tetapi, sering kali media online lupa akan elemen yang lebih penting dalam jurnalisme dan melanggar etika.
Beberapa pelanggaran di media online lain antara lain mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, berita yang tidak berimbang, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan asusila, dan ketidak jelasan narasumber. Dalams ebuah pemberitaan, memberikan keterangan yang sangat jelas tentang identitas korban kejahatan asusila merupakan kesalahan fatal karena nama korban asusila ini harus dilindungi untuk menjaga masa depannya.
Atas nama kecepatan, media seolah tak mempedulikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) butir 1, “Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi.” Atas nama kecepatan pula, pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) seperti diabaikan. Pasal 3 menyatakan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah” (Margianto & Syaefullah, 2006). Masih banyak lagi kasus pelanggaran etika dan hukum dalam jurnalisme online di Indonesia.
Jurnalisme online memang memiliki keunggulan dari sisi kecepatan, interaktivitas, dan membuka ruang bagi publik untuk ikut aktif dalam pengoperasiannya. Namun jurnalisme online harus tetap menjaga keakurasian berita dan tetap mengutaman verifikasi daripada kecepatan dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Jurnalisme online menjadi pemenuh kebutuhan akan informasi yang instan saat ini, namun jurnalisme online harus tetap beretika dan berpatok pada hukum yang ada dalam perkembangan teknologi untuk tetap bertahan.



DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K.(2007).Etika.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Effendy, O.U.(1984).Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Foust, J.C.(2005).Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web. Holcomb Hathaway Publisher.
Friend, C & Singer, J.(2007).Online Jornalism Ethic: Traditions and Trantitions.USA:M.E.Sharpe Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=anasBwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=Questioning+Contemporary+Journalism+Ethics&ots=sIzV1LEWn7&sig=y1bkHabU8ONJ6TCTKmGTWWSU6F4&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
Ishwara, L.(2005).Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta:Buku Kompas
Kovach, B  & Rosentiel, T.(2006).Sembilan Elemen Jurnalisme.Jakarta:
Margianto, J.H & Syaefullah, A.(2006).Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika  . Jakarta: AJI Indonesia
Pavlik, J.(2001). Journalism and New Media. US:Colombia University Press
Romli, A.S.M.(2012).Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online. Bandung:Nuansa Cendikia

Septiawan, S.(2005).Jurnalisme Kontemporer.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

Rabu, 18 Maret 2015

Teori Agenda Setting, Uses and Gratification, dan Kultivasi dalam Penelitian Kuantitatif

Teori Agenda Setting
Teori agenda setting ditemukan oleh Mc.Comb dan Donald L. Shaw sekitar tahun 1968. Teori ini berasumsi bahwa media mempunyai kemampuan mentransfer isi untuk mempengaruhi agenda publik. Teori agenda setting memiliki kesamaan dengan teori peluru yang menganggap media mempunyai kekuatan mempengaruhi khalayak. Bedanya, teori sikap memfokuskan pada aspek sikap pendapat, dan perilaku. Sedangkan agenda setting memfokuskan pada kesadaran dan pengetahuan. Agenda setting merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian Pertama, agenda media itu sendiri harus disusun oleh awak media. Kedua, agenda media dalam beberapa hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau naluri publik terhadap pentingnya isu, yang nantinya mempengaruhi agenda kebijakan. Ketiga, agenda kebijakan adalah apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan publik dan privat penting atau pembuat kebijakan publik yang dianggap penting oleh publik. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan model ini, harus mengkaji ketiga hal tersebut (Kriyantono, 2006, h.224-245).
Asumsi teori agenda setting :
  • Masyarakat pers dan media massa tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu.
  • Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting dari pada isu-isu lain.

Teori Uses and Gratification
            dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (1974). Teori Uses and Gratification mengemukakan bahwa “orang secara aktif mencari media tertentu dan muatan (isi) tertentu untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil tertentu)” (West&Turner, 2010).
Teori uses and gratification merupakan lawan dari teori peluru. Jika dalam teori peluru, khalayak dikendalikan oleh media, maka dalam teori uses and gratification ini khalayak bisa mengontrol media. Dalam teori ini pada dasarnya menggunakan media massa berdasar motif-motif tertentu. Media dianggap berusaha memenuhi motif khalayak dan saat media mampu memenuhi kebutuhan khalayak, maka media tersebut akan disebut sebagai media yang efektif (Kriyantono, 2006, h.208).
Asumsi dari teori ini menurut (Katz, Blumler, & Gurevitch) dalam West & Turner (2010) antara lain :
  • Khalayak akti dalam penggunaan medianya berorientasi pada tujuan
  • Inisiatif dalam menghubungkan kepuasan kebutuhan pada pilihan media tertentu terdapat pada anggota khalayak
  • Media berkompetisi dengan sumber lainnya untuk kepuasan kebutuhan
  • Orang mempunyai cukup kesadaran diri akan penggunaan media mereka, minat dan motif sehingga dapat memberikan sebuah gambaran yang akurat mengenai kegunaan tersebut kepada para peneliti
  • Penilaian mengenai nilai isi media hanya dapat dinilai oleh khalayak

Teori Kultivasi
Pada dasarnya, Teori Kultivasi pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media massa.
Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosialisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerber dan kawan-kawannya melihat bahwa film yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Asumsi teori kultivasi dalam West & Turner (2010), yaitu :
  • Televisi secara esensi dan fundamental, berbeda dengan bentuk-bentuk media massa lainnya. Televisi berbeda dengan media lain karena merupakan media yang dikombinasi dengan gambar dan suara, serta televisi tidak menggunakan mobilitas dan semua orang dapat menikmatinya karena lebih mudah untuk mengaksesnya.
  • Televisi membentuk cara berpikir dan membuat kaitan dari masyarakat kita.
    Asumsi ini menjelaskan televisi memiliki dampak terutama untuk dapat mempengaruhi khalayak. Dimana televisi memiliki fungsi budaya yaitu untuk melakukan stabilisasi dalam pola-pola sosial dalam menguatkan resistensi atas perubahan.
  • Pengaruh dari televisi terbatas.
Asumsi ini lebih diperjelas dalam analogi zaman es bahwa “posisi yang menyatakan bahwa telivisi tidak memiliki dampak yang besar tetapi dapat mempengaruhi penonton melalui dampak-dampak yang berlanjut dan terbatas.

Mengapa penelitian atas teori perlu dilakukan?
Sebuah riset komunikasi diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan melalui upaya mengkaji, menerapkan, menguji, menjelaskan atau membentuk teori-teori, konsep, maupun hipotesis tertentu (Kriyantono,2006, h.5).
Fungsi adanya penelitian teori agenda setting adalah untuk melihat kondisi media sekarang dimana didominasi kepentingan politik. Hal ini perlu diteliti guna mengulang kembali pada tahun 1972 dimana teori ini digunakan untuk meriset efek kampanye presiden di North California. Hasilnya media cetak terbukti mendukung riset agenda setting , sedangkan media elektronik hasilnya tidak mendukung. Kurt Lang pada tahun 1983 juga telah melakukan pengujian yang sama, hasilnya mereka menyimpulkan bahwa pemberitaan media memang menjadi variable penentu yang mempengaruhi apa yang dianggap penting dan dibicarakan public (Kriyantono, 2006, h.225)
Fungsi dari adanya penelitian teori kultivasi ini juga adalah dapat melihat bagaimana televisi membangun persepsi tentang masyarakat dan budaya. Dengan melakukan penelitian teori kultivasi ini juga dapat mengembangkan untuk melakukan analisis-analisis terutama dalam menghasilkan indeks kekerasan oleh Gerbner (Weat & Turner, 2010, h. 84).

Bagaimana cara melakukan penelitian tersebut?
Agenda setting bisa diteliti dengan menggunakan riset secara kuantitatif dan kualitatif. Penggabungan ini biasanya untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya agenda media dan bagaimana pula proses selanjutnya setelah agenda media mempengaruhi agenda public. Untuk melihat bagaimana terbentuknya agenda media digunakan teori ekonomi politik media yang disebut dengan istilah agenda dynamics (Kriyantono, 2006, h.232)
Penelitian teori uses and gratification banyak memfokuskan pada motif sebagai variabel independen yang mempengaruhi penggunaan media. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Philip Palmgreen dari Kentucky University. Dalam hal ini, peneliti menggunakan dasar yang sama yaitu orang menggunakan media didorong oleh motif-motif tertentu. Namun konsep yang diteliti oleh Palmgreen ini tidak hanya berhenti pada hal itu, namun juga mempertanyakan apakah motif-motif khalayak tersebut telah dapat dipenuhi oleh media. Konsep untuk mengukur kepuasan ini disebut GS (Gratification Sought) dan GO (Gratification Obtained).
Cara melakukan penelitian teori kultivasi. Terdapat dua tahap dalam melakukan analisis teori kultivasi menurut Kriyantono (2006, h. 287), antara lain :
  1. Mendiskripsikan tayangam yang disampaikan media (media world) melalui analisis isi secara periodik terhadap tayangan pada periode waktu tertentu. Hasil dari analisis ini berupa identifikasi terhadap dunia versi pesan-pesan yang disampaikan oleh televisi.
  2.  Melakukan studi survey kepada khalayak tentang TV yang menerpanya. Dimana penonton dibagi berdasarkan frekuensi menonton dan juga durasi yang dia habiskan dalam menonton, ada heavy viewer dan high viewer. Dalam melakukan riset kultivasi juga dapat dilakukan dengan  metode eksperimen dengan membagi kedua kelompok dan menyuguhkan acara televise yang berbeda. Setelah itu, kelompok tersebut diminta melakukan pendeskripsian tentang pandangan mereka atas dunia.

Apakah penelitian Agenda Setting dan Uses and gratification hanya merupakan pelajaran komunikasi Massa ?
Ketiga teori diatas pada dasarnya merupakan teori khas dari teori yang digunakan dalam Komunikasi Massa. Teori-teori tersebut mengkaji tentang media. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa teori-teori tersebut juga bisa digunakan di luar area komunikasi massa.
Teori-teori tersebut juga bisa digunakan dalam kajian PR, misalkan untuk kegiatan branding.

Daftar Pustaka:
Kriyantono, R. (2006).Teknik Praktis Riset Komunikasi.Jakarta:Kencana
Nurudin, (2007). Pengantar Komunikasi Massa.Jakarta:Rajawali Pers
West, R & Turner, L.H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi Edisi 3: Analisis dan Aplikasi Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika
Egede, E.A. (2013). Uses and Gratification Theory and the Optimization of the Media in the Privatization of State Owned Enterprises in Nigeria. Journal of Economics and Sustainable Development, 4 (16), 202-212.
McCombs, Maxwell (2002). The Agenda-Setting Role of the Mass Media in the Shaping of Public Opinion. Diakses pada Maret, 18, 2015

Ruggiro, T, E. (2000). Uses and gratifications theory in the 21th century. Mass Communication & Society, 3 (1), 3-37

Rabu, 11 Maret 2015

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUANTITATIF

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUANTITATIF

1. Ciri-ciri Penelitian Kuantitatif menurut Kriyantono (2008) :
·      Data didominasi kuantitatif. Data berupa angka-angka
Data kuantitatif lebih bersifat konkret karena dapat dikuantitaskan berupa angka-angka. Data ini bersifat objektif dan bisa ditafsirkan sama oleh semua orang. Meskipun didomonasi angka tidak seluruhnya kuantitatif berupa angka-angka. Oleh karena itu sebagai penelitian kuantitatif pada dasarnya tentng mengumpulkan data angka untuk dijelaskan sebagai fenomena khusus, pertanyaan khusus yang tampaknya segera dapat terjawab dengan menggunakan metode kuantitatif (Sumakolson,2007,h.3).
·      Alat ukur terpisah dari peneliti
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti dituntut bersikap objektif dan memisahkan diri dari data. Artinya, periset tidak boleh membuat batasan konsep maupun alat ukur data sekehendak hatinya sendiri. Semuanya harus objektif dengan diuji dahulu, apakah batasan konsep dan alat ukurnya sudah memenuhi prinsip reliabiitas dan validitas. Karena peneliti harus menjaga sifat objektif, maka dalam analisis data, peneliti tidak boleh mengikutsertakan analisis dari interpretasi yang bersifat subjektif (Kriyantono, 2008, h.55-56).
·      Desain penelitian ditetapkan di awal
Desain penelitian kuantitatif dibuat sebelum penelitian dilakukan. Desain penelitian juga terstruktur dan sistematik mulai dari perumusan masalah, definisi konsep, definisi operasional, hipotesis sampai dengan teknik analisis data (Kriyantono, 2008, h.86-87).
Desain yang dibuat juga diusahakan agar pasti dan tidak mudah berubah, karena jika data berubah-ubah maka dapat mengaburkan variabel dan akan mempengaruhi instrumen serta analisis data. Desain penelitian kuantitatif bisa bervariasi tergantung metode maupun jenis penelitian yang digunakan.
·      Tujuan Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif adalah representasi numerik dan manipulasi pengamatan untuk tujuan menjelaskan dan menjelaskan fenomena bahwa mereka pengamatan mencerminkan. Hal ini digunakan dalam berbagai ilmu alam dan sosial, termasuk fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan geologi (Sumakolson,2007,h.2).
·      Posisi Data
Data hanya sebagai sarana konfirmasi teori atau teori dibuktikan oleh data
Tujuan penelitian kuantitatif adalah untuk menguji suatu teori atau hipotesis yang telah dibuat oleh peneliti. Jawaban yang diharapkan tersebut didapat dari data yang dihasilkan saat penelitian, dengan hipotesis yang diterima atau ditolak.
·      Cara berpikir
Rasional – empiris (deduktif), artinya penelitian berangkat dari konsep-konsep atau teori-teori yang melandasinya.
Penelitian kuantitatif dimulai dari pengujian teori atau pengkonstruksian teori. Teori atau konsep menjadi dasar dalam melaksanakan penelitian yang akan membentuk kerangka besar penelitian. Logika peneliti saat melihat suatu fenomena adalah dari kacamata teori atau konsep yang digunakan.

2. Mahasiswa dan Pornografi
    (Studi deskriptif tentang pornografi pada mahasiswa di kota Malang)
    Mengapa direkomendasikan?
Judul merupakan bagian penting dari sebuah penelitian. Judul penelitian termasuk bagian yang paling awal diperhatikan. Dari judul yang direkomendasikan di atas, menurut saya judul tersebut sudah memenuhi aspek-aspek pembuatan judul yang benar yaitu menarik, relavan, dan mencakup apa yang seharusnya ada pada sebuah judul penelitian dan dari judul tersebut sudah dapat dilihat metode analisis serta sasarannya.

3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Apakah ada hubungan antara pemilih pemula terhadap parpol dengan sikap orang tua terhadap parpol?
Instrumen:
Sikap orang tua saya terhadap PAN ?
Sikap:
a.      SS
b.      S
c.       CS
d.      TS
e.      STS
Sample:
Dipilih 100 siswa SMU
Pada penelitian kuantitatif kesahihan atau validitas perlu diperhatikan agar data dapat dianalisis dengan baik.
Validitas Internal:
- Apakah alat ukur sesuai dengan yang diukur. Alat ukur disebut reliabel apabila alat ukur tersebut secara konsisten memberikan hasil atau jawaban yang sama tehadap gejala yang sama walaupun digunakan berulang kali. Reliabilitas mengandung arti bahwa alat ukur tersebut stabil, tetap, dan dapat diandalkan.
Untuk mengetahui reliabilitas, ada dua faktor yang harus dipahami, yaitu hasil pengukuran yang sebenarnya dan kesalahan pengukuran (Kriyantono, 2008, h.143).
- Pemilihan teori/konsep
- Pengukuran konsep (reliabilitas), yaitu pada definisi operasional
Validitas Eksternal
- Pemilihan sampel, apa sudah representatif atau belum
Berdasarkan contoh kasus instrumen kuisioner diatas, data belum bisa dikatakan valid. Hal ini dikarenakan dua hal, pertama alat ukur yang digunakan tidak sesuai dengan yang diukur. Seharusnya dalam instrumen tidak ada pertanyaan mengenai sikap orang tua, karena yang diukur adalah anaknya (sebagai pemilih pemula).
Referensi :
Kriyantono, R. (2008).Teknik Praktis Riset Komunikasi.Jakarta:Kencana
Kriyantono, R. (2015). Minggu kedua: Quantitative Research [slide powerpoint]. Diakses dari online: http://www.racmatkriyantono.lecture.ub.ac.id
Sukamolson,Suphat. (2007) Fundamental of Quantitative Research. 2-11. Diakses 10 Maret 2015, dari Chulalongkorn University